Satu waktu di tahun 1997 di ruang kelas SMU, saya berdiskusi dengan kawan saya, Ramli namanya, dia sekarang berdinas di kementerian keuangan. Diskusi ringan soal perlunya Indonesia untuk memiliki seorang pemimpin baru. Kawan saya ini meyakinkan saya bahwa kondisi bangsa ini sudah demikian karut marut sehingga perlu untuk melakukan perubahan kepemimpinan nasional saat itu. Korupsi dan kroni di sekeliling kekuasaan pusat telah menjadi benih kebencian di sebagian kalangan masyarakat terhadap presiden saat itu. Di bayangi kekhawatiran pertumpahan darah yang hampir selalu mengiringi perubahan kepemimpinan di bumi nusantara, saya katakan waktu itu bahwa bangsa ini belum siap untuk berganti kepemimpinan. Berbagai alasan saya kemukakan diantara nya tentang ketidaksiapan bangsa kita saat itu untuk menjalankan demokrasi secara dewasa.
Terus terang saat itu saya sungguh tidak terlalu paham apa itu demokrasi selain dari yang saya baca dari bermacam literatur. Demokrasi yang saya pelajari di sekolah adalah demokrasi Pancasila, yang padanya kepentingan umum merupakan salah satu pilarnya yg utama. Lewat pilar ini berbagai tindakan yang dilakukan pemerintah saat itu selalu di stempel sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan umum.
Namun kini setelah mengecap sendiri rasanya demokrasi, saya justru makin yakin bahwa bangsa ini memang belum siap untuk berdemokrasi. Demokrasi di indonesia saat ini tidak lebih dari upaya untuk memenuhi kepentingan kelompok atau pribadi dengan mengatasnamakan suara terbanyak. Kalau kelompok kita memiliki suara terbanyak, maka kepentingan kelompok kita niscaya akan menjadi kepentingan bersama.
Kebenaran kini semakin disederhanakan sebagai suara terbanyak. Kata bapak saya : demokrasi saat ini adalah menghitung banyaknya kepala, bukan isi kepala. Artinya kalau anda adalah seorang ahli matematika dan meyakini bahwa 1+1 adalah 2, anda akan kalah oleh suara 2 orang ABG yang mengatakan 1+1 adalah suka-suka kita.
Demikianlah, kini kekuasaan terpusat kepada kelompok yang mampu menggalang massa, kelompok yang terkenal di masyarakat (bukan yg terbaik). Tak usah heran kalau presiden yang sekarang sangat mementingkan citra diri. Saya kira justru saat ini jauh lebih karut marut dibandingkan katakanlah tahun 1997.
Namun demikian, yang seperti ini masih belum seberapa dibandingkan dengan perilaku bangsa ini dalam menjalankan demokrasi. Berbagai pemilihan umum dilakukan di berbagai tingkatan baik tingkat nasional hingga tingkat daerah. Selalu saja mayoritas masyarakat kita memilih calon dengan mengandalkan ketenaran. Seorang pelawak tanpa pernah memiliki bekal dan pengalaman yang cukup tiba2 menjadi wakil rakyat. Perusahaan saya saja memiliki syarat yang banyak agar sesorang bisa jadi manager yg notabene memiliki scoupe yang lebih kecil.
Berkali-kali bangsa ini memilih pemimpinnya dan berkali-kali pula bangsa ini meratapi kekecewaan atas pemimpin yang dipilihnya. Bahkan kata orang bijak seekor keledai tidak terperosok ke lubang yang sama. Saya yakin bangsa ini jauuuuh lebih pintar dari keledai.
Sunday, December 04, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment